Biografi Ibn Arabi
Muhammad Ibn Ali bin Muhammad Ibn al-Arabi al-Hatimi yang dikenal dengan sebutan Ibn Arabi dilahirkan di Murcia, Spanyol bagian tenggara pada tanggal 17 Ramadan 560 H/ 29 Juli 1165 M). Pada usia 8 tahun ia dibawa oleh orang tuanya ke Sevilla. Di sana ia belajar Alquran, hadis, fikih dan tasawuf. Pada tahun 598 H / 1202 M ia berangkat ke Timur dan mengembara di daerah-daerah dan kota-kota : Mesir, Makkah, Yerusalem, Aleppo, Asia kecil dan akhirnya menetap di Damaskus sampai akhir hayatnya pada 28 Rabiul Akhir 638 H / 1240 M.[1]
Pengertian dan Hakikat Insan Kamil
Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat.[2]
Ibn Arabi memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu.[3]
Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alam semesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan dengan penciptaan alam yang dilakukan oleh Tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo).[4]
Bagi para sufi, alam dunia adalah cermin dan sifat-sifat Tuhan dan nama-nama indah-Nya (al-asmā’ al-husnā). Masing-masing tingkat eksistensi yaitu mineral, tumbuhan dan hewan dipandang mencerminkan sifat-sifat tertentu Tuhan. Di tingkat mineral, misalnya, keindahan Tuhan tercermin sampai batas tertentu, dalam batu-batuan atau logam mulia. Demikian juga dalam dunia tumbuh-tumbuhan ribuan jenis bunga-bunga dengan aneka warnanya yang unik dan serasi tidak henti-hentinya mengilhami para penyair dengan inspirasi yang sangat mengesankan. Begitu pula, pesona yang diberikan oleh berbagai jenis hewan yang sangat beraneka bentuk dan posturnya. Tetapi dari semua makhluk yang ada di alam dunia, tidak ada yang bisa mencerminkan sifat-sifat Tuhan secara begitu lengkap kecuali manusia. Ini karena manusia sebagai mikrokosmos yang terkandung di dalamnya seluruh unsur kosmik, bisa mencerminkan seluruh sifat Ilahi dengan sempurna, ketika ia telah mencapai tingkat kesempurnaannya, yang disebut insan kamil, manusia sempurna, atau manusia universal.[5]
Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajalliTuhan yang sempurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan.[6]
Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika. Hati insan kamil berpadanan dengan arasy Tuhan, “ke-Aku-an”nya sepadan dengan kursi Tuhan, peringkat rohaninya dengan sidratul muntaha, akalnya dengan pena yang tinggi, jiwanya dengan lauh mahfūz, tabiatnya dengan elemen-elemen, kemampuannya dengan hayūla, tubuhnya dengan habā’ dan lain-lain.[7]
Bani Adam secara potensial adalah insan kamil, meski hanya di kalangan para nabi dan wali saja potensi itu menjadi aktual. Alquran surat al-Isra’: 70 menjelaskan
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ اَدَمَ وَحَمَلْنَهُمْ فِى الْبََرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَهُمْ مِنَ الطَّيِّبَتِ وَفَضَّلْنَهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلاً
Artinya:
“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut merekat di daratan dan lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Qs. al-Isra’: 70).[8]
Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan. Tingkat pertama disebutnya sebagai tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya. Tingkat kedua adalah tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya. Tingkat ketiga ialah tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Di samping itu, ia pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir. Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.[9]
Akan tetapi, insan kamil yang muncul dalam setiap zaman, semenjak Adam a.s. tidak dapat mencapai peringkat tertinggi, kecuali Nabi Muhammad saw. Alquran surat al-Ahzāb : 21 menjelaskan
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كاَنَ يَرْجُوااللهَ وَالْيَوْمَ الاَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzāb: 21).[10]
Jadi setiap manusia secara potensial merupakan citra Tuhan, pada insan kamil potensi itu menjadi aktual, karena pada dirinya termanifestasi nama-nama dan sifat Tuhan. Tetapi citra itu belum sempurna sampai ia menyadari kesatuan esensialnya dengan Tuhan. Setiap insan kamil adalah sufi, karena kesadaran seperti itu hanya bisa diperoleh di dalam tasawuf.
Proses Munculnya Insan Kamil
Munculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui dua sisi. Pertama melalui tahap-tahaptajalli Tuhan pada alam sampai munculnya insan kamil. Kedua melalui maqamat(peringkat-peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran tertinggi yang terdapat pada insan kamil.
Tajalli Tuhan – dalam pandangan Ibn Arabi – mengambil dua bentuk: pertama tajalligaib atau tajalli żāti yang berbentuk penciptaan potensi, dan kedua tajalli syuhūdi(penampakan diri secara nyata), yang mengambil bentuk pertama, secara intrinsik hanya terjadi di dalam esensi Tuhan tersendiri. Oleh karena itu, wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri karena ia tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan di dalam esensi-Nya sendiri, sedangkan tajalli dalam bentuk kedua ialah ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam berbagai fenomena alam semesta.[11]
Tajalli żāti, menurut Ibn Arabi, terdiri dari dua martabat: pertama martabat ahadiyah dan kedua martabat wahīdiyah. Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi mutlak, yang belum dihubungkan dengan kualitas (sifat) apapun, sehingga ia belum dikenal oleh siapapun. Esensi Tuhan pada peringkat ini, begitu kata Ibn Arabi, hanya merupakan totalitas dari potensi (quwwah) yang berada dalam kabut tipis (al-‘amā’) yakni awan tipis yang membatasi “langit” ahadiyah dan “bumi” keserbagandaan makhluk, yang identik dengan nafs ar-Rahmān (nafas Tuhan yang Maha Pengasih).[12]
Wujud Tuhan dalam martabat ahadiyah masih terlepas dari segala kualitas dan pluralitas apapun: tidak terkait dengan sifat, nama, rupa (rasm), ruang, waktu, syarat, sebab dan sebagainya. Ia betul-betul transenden atas segala-galanya. Di dalam transendensi-Nya itu, ia ingin dikenal oleh yang selain dari diri-Nya, maka diciptakan-Nya makhluk. Dari martabat ahadiyah tajalli Tuhan akan berlanjut pada martabat-martabat di bawahnya sampai pada martabat dimana Tuhan dapat dikenal oleh makhluk.[13]
Pada martabat wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiah yang unik di luar batas ruang dan waktu dalam citra sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat tersebut terjelma dalam asma Tuhan. Sifat-sifat dan asma itu merupakan satu kesatuan dengan hakikat alam semesta yang berupa entitas-entitas laten (‘a’yān sābitah). Bila sifat-sifat dan nama-nama itu dipandang dari aspek ketuhanan, ia disebut asma’ ilāhiyah (nama-nama ketuhanan), bila dipandang dari aspek kealaman (makhluk), ia disebut asma’ kiyāniyah (nama-nama kealaman). Aspek kedua, meski dipandang satu dengan aspek pertama, ia juga merupakan tajalli dari aspek pertama, karena pada asma’ kiyāniyahitu asma Tuhan mengambil bentuk entitas (‘ain). Oleh karena itu, setiap kali asma ilahi muncul, ia senantiasa berpasangan dengan asma’ kiyāniyah sebagai wadahtajalli-nya.[14] Ibn Arabi menjelaskan
فَلَمَّا اَرَادَ وُجُوْدَالْعَالَمِ انْفَعَلَ عَنْ تِلْكَ الاِرَادَةِ الْمُقَدَّسَةِ حَقِيْقَةٌ تُسَمَّى الْهَبَاءُ ثُمَّ اِنَّهُ سُبْحَانَهُ تَجَلَّى بِنُوْرِهِ اِلَى ذَلِكَ الْهَبَاءِ وَيُسَمُّوْنَهُ اَصْحَابُ الاَفْكَارِ الْهَيُوْلىَ الْكُلَّ وَالْعَالَمُ كُلُّهُ فِيْهِ بِالْقُوَّةِ وَالصَّلاَحِيَّةِ فَقَبِلَ مِنْهُ تَعَالَى كُلُّ شَيْئٍ فِى ذَلِكَ الْهَبَاءِ عَلَى حَسْبِ قُوَّتِهِ وَاسْتِعْدَادِهِ كَمَا تَقْبِلُ زَوَايَاالْبَيْتِ نُوْرَا لسِّرَاجِ وَعَلَى قَدْرِ قُرْبِهِ مِنْ ذَلِكَ النُّوْرِ يَسْتَدُّ ضَوْءُهُ وَقَبُوْلُهُ فَلَمْ يَكُنْ اَقْرَبُ اِلَيْهِ قُبُوْلاً فِى ذَلِكَ الْهَبَاءِ اِلاَّ حَقِيْقَةٌ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ وُجُوْدُهُ مِنْ ذَلِكَ النُّوْرِ الاِلَهِيِّ وَمِنَ الْهَبَاءِ وَمِنَ الْحَقِيْقَةِ الُكُلِّيَّةِ
“Tatkala (Allah) menghendaki adanya alam terjadilah dari iradat suci itu suatu hakikat yang disebut habâ’ (materi prima). Kemudian Allah subhanahu ber-tajalli dengan nur-Nya pada habâ’ itu, yang oleh ahli pikir disebut al-hayûla al-kull (materi universal), yang alam semesta ini secara potensial dan serasi berada di dalamnya. Segala sesuatu dalam habâ’ itu menerima (nur) Allah menurut potensi dan kesediaannya masing-masing, seperti sudut-sudut sebuah rumah menerima sinar lampu, yang lebih dekat kepada nur itu lebih terang dan lebih banyak menerimanya. Tiada yang lebih banyak menerimanya di dalam habâ’ itu daripada hakikat Muhammad s.a.w., yang wujudnya dari nur ilahi itu, dari habâ’ dan dari realitas universal.”[15]
Adapun yang pertama kali muncul pada tajalli syuhudi ialah al-jism al-kulli (jasad universal) sebagai penampakan lahir dari nama Tuhan az-Zāhir (Yang Maha Nyata). Kemudian “jasad universal” tersebut mengambil bentuk asy-syakl al-kulli (bentuk universal) sebagai efek dari tajalli Tuhan dengan nama-Nya al-Hakīm (Yang Maha Bijaksana). Selanjutnya Tuhan dengan nama-Nya al-Muhīth (Yang Maha Melingkupi),asy-Syakūr (Yang Maha Melipatgandakan pahala), al-Gāni (Yang Maha Kaya) dan Al-Muqtadir (Yang Maha Memberi Kekuasaan) masing-masing menampakkan diri pada arasy (singgasana) Tuhan, kursi, falak al-būrūj (falak bintang-bintang), dan falak al-manāzil (falak berorbit). Setelah falak al-manāzil, secara berturut-turut muncul langit pertama hingga langit keenam dan langit dunia. Kemudian muncul pula eter, api, udara, air, tanah, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin, manusia dan insan kamil. Masing-masing merupakan tajalli dari nama-nama Tuhan: ar-Rabb (Yang Maha Mengatur), al-Alīm (Yang Maha Mengetahui), al-Qāhir (Yang Maha Perkasa), an-Nūr (yang bersinar), al-Musawwir (yang membentuk rupa), al-Muhsī (yang mencatat),al-matīn (Yang Maha Kokoh), al-Qābid (yang membatasi), al-Hayy (Yang Maha Hidup),al –Muhyī (Yang Menghidupkan), al-Mumīt (Yang Mematikan), al-Azīz (Yang Maha Mulia), ar-Razzāq (Yang Memberi rezki), al-Mużill (Yang Menghina), al-Qawī (Yang Maha Kuat), al-Latīf (Yang Maha Halus), al-Jāmi’ (Yang Menghimpunkan), Rāfi’ ad-Darajāt (Yang Maha tinggi derajatnya). Pada peringkat insan kamil itu sempurnalahtajalli Tuhan pada makhluk, karena pada insan kamil telah termanifestasi segenap sifat dan asma-Nya.[16]
Dari pembahasan di atas kelihatan bahwa hubungan antara tajalli bentuk pertama dan yang sesudahnya merupakan suatu bentuk peralihan dari sesuatu yang potensial kepada yang aktual dan ini terjadi secara abadi, karena tajalli ilahi tidak pernah berhenti pada suatu batas perhentian. Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal lewat nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam semesta. Akan tetapi alam semesta ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusia citra Tuhan dapat tergambar secara sempurna, yaitu pada insan kamil. Martabat insan kamil ini baru dapat dicapai setelah melalui beberapa maqâm (tingkat-tingkat kerohanian, jamaknya: maqāmāt). Dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu sufi akan mengalami beberapa keadaan batin (hāl, jamaknya: ahwāl).[17]
Maqāmāt adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan “ahwāl” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara ahwāl yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwāldialami secara spontan, berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras seperti halnya maqāmāt, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut “lama’at.”[18]
قال بروى احمد طبانه فى مقدمة احياء علوم الدين للغزالى : (ربع المنجيات) فى ابواب الخوف والرجاء والصبر والشكر والفقر والزهد والتوحيد والتوكل والمحبة والشوق والانس والرضا
Barwa Ahmad Tabanah berkata dalam Muqadimah Ihyā’ Ulumudin karya al-Ghazali: “Seperempat bagian yang menyelamatkan (maqāmāt) dalam bab khauf (takut), rajā’ (berharap), sabar, syukur, kefakiran, zuhud, tauhid, tawakal, cinta, rindu, mesra, dan rida.[19]
Al-Kalabadzi menyebutkan 10 maqāmāt yaitu: tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, tawakal, rida, cinta dan makrifat.[20] Tahap-tahap puncak yang dicapai oleh sufi dalam perjalanan spiritualnya itu ialah ketika ia mencapai maqām makrifat danmahabbah. Makrifat dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan mengenal dan menyadari jati diri, niscaya sufi akan kenal dan sadar terhadap Tuhannya. Kesadaran akan eksistensi Tuhan berarti mengenal Tuhan sebagai wujud hakiki yang mutlak, sedangkan wujud yang selain-Nya adalah wujud bayangan yang bersifat nisbi. Wujud bayangan, sebenarnya hanya image belaka, sehingga yang benar-benar ada ialah wujud Tuhan.[21]
Setelah menempuh segala maqām sampailah sufi kepada keadaan fanā’ dan baqā’. Dalam keadaan demikian, insan kembali kepada wujud asalnya, yakni wujud mutlak.Fanā’ adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (fanā’ ‘an sifāt al-haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqā’) di dalam kesadarannya ialah wujud mutlak. Untuk sampai kepada keadaan demikian, sufi secara gradual, harus menempuh enam tingkat fanā’ yang mendahuluinya, yaitu:
1. Fanā’ ‘an al-Mukhālafāt (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi memandang bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan juga. Dengan demikian, ia mulai mengarah kepada wujud tunggal yang menjadi sumber segala-galanya. Dalam tahap ini sufi berada dalam hadrah an-nūr al-mahd (hadirat cahaya murni). Jika seseorang masih memandang tindakannya sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadrah az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).
2. Fanā’ ‘an af’āl al-‘ibād (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya “satu agen mutlak” dalam alam ini, yakni Tuhan.
3. Fanā’ ‘an sifāt al-makhlūqīn (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, sufi menghayati segala sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.
4. Fanā’ ‘an kull az-zāt (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini sufi menyadari non-eksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik dirinya ialah zat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.
5. Fanā’ ‘an kull al-‘alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benar-benar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.
6. Fanā’ ‘an kull mā siwā ‘l-lāh (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.[22]
Ketika sufi mencapai fanā’ tahap keenam ia menyadari bahwa yang benar-benar ada adalah wujud mutlak yang mujarrad dari segenap kualitas nama dan sifat seperti permulaan keberadaan-Nya. Inilah perjalanan panjang sufi menuju ke asal. Kesadaran puncak mistis seperti inilah yang dicapai insan kamil.
Kedudukan Insan Kamil
Insan kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda dengan manusia lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan kesempurnaan itulah Tuhan menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya. Yang dimaksud dengan khalifah bukan semata-mata jabatan pemerintahan lahir dalam suatu wilayah negara (al-khilāfah az-zāhiriyyah) tetapi lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilāfah al-ma’nawiyyah) dengan manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.
Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, kedua bentuk khalifah diatas sama-sama mempunyai urgensi dalam eternalisasi eksistensi alam semesta. Namun demikian, khilāfah ma’nawiyyah menempati posisi paling asasi. Di satu sisi, ia merupakan fokus kesadaran diri Tuhan, sementara disisi lain, ia merupakan sebab muncul dan lestarinya alam semesta. Posisi demikian berlainan dengan khilāfah zāhiriyyah, yang fungsinya tidak lebih dari melestarikan masyarakat dan negara, dengan menciptakan keadilan, ketentraman, dan kemakmuran dalam masyarakat. Dengan demikian, tugaskhilāfah zāhiriyyah ini merupakan penunjang tugas khilāfah ma’nawiyyah. Ini bukan berarti khilāfah zāhiriyyah tersebut dapat diabaikan, karena tanpa dia niscaya akan terjadi kegoncangan pada khilāfah ma’nawiyyah.[23]
Kedudukan khalifah pertama kali ditempati oleh Adam a.s. karena pada dirinya termanifestasi nama-nama dan sifat Tuhan. Bahkan jabatan yang diduduki oleh Adam a.s. itu (sebenarnya) tidak terlepas dari rekayasa Tuhan, seperti disebutkan dalam Alquran surat al-Baqarah: 30.
وَاِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى اْلاَرْضِ خَلِيْفَةًً قلى قاَلُوْا اَتَجْعَل فِيْهَا مَنْ يُفْسِدَ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءِ ج وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَقلى قَالَ اِنِّيْ اَعْلَمُ مَالاَ تَعْلَمُوْنَ
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesunggguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? “Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al- Baqarah: 30).[24]
Jadi, keunggulan Adam a.s. yang menyebabkan ia diangkat oleh Tuhan sebagai khalifah di sini bukan karena kesalehannya, tetapi karena dirinya dapat memanifestasikan asma dan sifat-sifat Tuhan. Diakui bahwa malaikat adalah makhluk Tuhan yang senantiasa berada dalam kesalehan, tetapi ia tidak dapat menyandang jabatan khalifah, karena dirinya tidak mampu menerima tajalli ilahi secara sempurna, ia hanya dapat memanifestasikan salah satu dari sifat dasar Tuhan: sifat jamāl (maha indah) ataupun sifat jalāl (maha perkasa). Hal demikian berlainan dengan Adam a.s., pada diri Adam termanifestasi sifat-sifat jamāl, seperti kasih sayang, santun dan pemurah; dan juga sifat jalāl, seperti perkasa, menjatuhkan hukuman atas yang bersalah, dan bangga. Oleh sebab itu ketika Tuhan memerintahkan segenap malaikat bersujud kepada Adam, maka semuanya bersujud kecuali Iblis. Ia menolak untuk melakukan sujud karena kesombongannya, sehingga ia termasuk golongan kafir.[25]Alasan iblis tidak mau sujud karena ia merasa dirinya lebih baik daripada Adam, ia dijadikan dari api sedangkan Adam dari tanah.[26]
Iblis, kata Ibn ‘Arabi, adalah suatu makhluk yang paling banyak dipengaruhi oleh daya ilusi (al-quwah al-wahmiyah), sehingga ia terhalang dari kebenaran karena daya ilusi tersebut. Maka ketika mendapat perintah dari Tuhan agar melakukan sujud kepada Adam, ia tidak mematuhinya. Iblis disebut juga jin, yakni suatu kelompok alam gaib yang rendah (al-malākūt as-sufliyah), yang pada mulanya hidup bersama-sama malaikat-malaikat langit yang suci, tetapi tidak dapat mencapai kebenaran mutlak karena terhalang oleh kebenaran nisbi, maka ia pun termasuk golongan kafir.[27]
Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār), ilmu ladunni atau pengetahuan gaib. Pengetahuan esoterik, pada dasarnya identik dengan pengetahuan Tuhan sendiri. Oleh karena itu orang yang bisa mencapainya hanyalah orang yang telah menyadari kesatuan esensialnya dengan Tuhan, dalam hal fanā’ dan baqā’. Jika seseorang telah dapat mengosongkan aql dan qalbnya dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql dan qalbnya merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya.[28] Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Tuhan, setelah seseorang menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs).
Insan kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb (poros). Dalam struktur hierarki spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman. Qutb bisa pula disebut gaws(penolong), yang termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan, quthb dikitari oleh dua orang imam yang bertugas sebagai wazirnya. Di samping itu, ada pula empat orang awtād (pilar-pilar), yang bertugas sebagai penjaga empat penjuru bumi, masing-masing dari empat orang awtād itu berdomisili di arah timur, barat, utara, dan selatan dari ka’bah. Selain itu, terdapat tujuh orang abdāl (pengganti-pengganti), yang bertugas mengurus tujuh benua; dua belas orang nuqabā’ (pemimpin-pemimpin), yang mengatur perjalanan dua belas bintang; dan masih ada delapan orang nujabā’ (orang-orang yang mulia), hawāriyūn (para penolong), dan rajābiyūn(wali-wali yang hanya muncul pada bulan Rajab).[29]
Dari kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadahtajalli Tuhan ia merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, dalam kedudukannya sebagai khalifah ia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan kedamaian, dan dalam kedudukannya sebagai quthb, ia adalah sumber pengetahuan esoterik yang tidak pernah kering.
Kedudukan Norma dalam Insan Kamil
Taklif syarak merupakan norma-norma keagamaan untuk menata kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesamanya dan dengan makhluk lain. Kalau aturan-aturan ini dilanggar atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya niscaya akan terjadi kekacauan dalam kehidupan manusia. Pada aspek aksiologis, Tuhan merupakan wujud yang maha baik, yang menyukai kebaikan, dan ingin menyebarkan kebaikan. Karena itu, ia memanifestasikan diri-Nya dengan norma, hukum, atau wahyu. Jadi wahyu juga merupakan salah satu wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa syariat yang merupakan aktualisasi dari wahyu itu mengandung nilai-nilai keilahian.[30]
Untuk mencapai martabat insan kamil, sufi harus mematuhi aturan-aturan formal keagamaan, yang bersumber dari kitab suci Alquran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Pengetahuan dan tindakan yang tidak didukung oleh kitab suci dan sunnah Nabi saw. merupakan pengetahuan dan tindakan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, bahkan menyesatkan. Oleh sebab itu, jika seseorang memperoleh ilham, dia harus mempertimbangkannya lebih dahulu atas kriteria kandungan Alquran dan sunnah; jika ilham yang diperolehnya itu sesuai dengan kandungan Alquran dan sunnah, menandakan ilham yang didapatnya itu datang dari Allah dan dia boleh melaksanakannya; tetapi kalau ilham itu tidak sesuai dengan kandungan Alquran dan sunnah dia tidak boleh mengamalkannya, karena boleh jadi ilham yang demikian bersumber dari bisikan iblis yang menyusup ke dalam lubuk hatinya.[31]
Semakin tinggi martabat spiritual sufi bertambah sulit pula jalan yang ditempuh dalam suluknya. Jalan berliku menanjak, petir menyambar, hujan mengguyur dalam gelap gulita malam sementara tujuan belum tercapai ditambah godaan setan dari yang kasar sampai yang halus menghanyutkan, sufi yang sudah kebal dengan rayuan setan kelas teri tentu diburu oleh setan kelas kakap bahkan the big bos juga turun tangan. Dikisahkan pada suatu ketika Syekh Abd al-Qadir al-Jilāny melihat cahaya terang, di dalamnya terdapat penampakan yang memanggil: “Hai Abd al-Qadir, aku tuhanmu, aku halalkan untukmu segala yang diharamkan! Dia menjawab: “Aku berlindung dengan Allah dari setan yang dirajam, pergilah hai terkutuk! Padamlah cahaya terang itu, setan yang mengaku tuhan itu berkata: “Engkau telah selamat dariku dengan hukum Tuhanmu dan kepahamanmu dalam mempertahankan martabat spiritual. Padahal aku telah menyesatkan tujuh puluh ahli suluk dengan metode ini. “Dia menjawab: “hanya milik Tuhanku segala keutamaan dan anugerah.” Syekh ditanya: “Dengan apa engkau mengerti bahwa penampakan itu setan?” Dia menjawab: “Dengan ucapannya telah kuhalalkan, untukmu segala yang diharamkan, maka aku segera mengerti sesungguhnya Allah tidak memerintahkan dengan kejahatan.”[32]
Abu Bakar al-Makky berkata: “Para salik (penempuh spiritual) harus melakukan syariah, thariqat, dan haqiqah. Syari’ah adalah perintah-perintah yang diperintahkan Allah dan larangan-larangan yang dilarang Allah. Thariqah adalah melakukan dan mengamalkan syariah. Haqiqah adalah memandang bahwa esensi dan penggerak perbuatan adalah Allah. Pernyataan hanya kepada-Mu aku menyembah merupakan dimensi syariah dengan memandang perbuatan lahir yang dilakukan hamba, dan pernyataan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan merupakan dimensi haqiqah karena hamba memfanâ’kan daya upayanya dengan menyadari segala perbuatan tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan kekuatan Allah.”[33]
Insan kamil sebagai manusia sempurna tentu mematuhi norma taklif yang dibebankan Allah. Tata laku lahir berupa norma taklif dirancang Allah untuk kebaikan manusia. Alquran surat al-Bayyinah: 5 menjelaskan:
وَمَا اُمِرُوْا اِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُواالزَّكَوةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. al-Bayyinah: 5)[34]
Pada aspek fikih bersuci atau tahārah merupakan syarat untuk melakukan berbagai ritual ibadah. Bisa dibayangkan apabila tidak wudu, mandi wajib, apalagi jarang mandi karena menjalani “laku garingan” tentu tubuh akan kotor, gatal dan ibadahpun menjadi tidak nyaman. Puasa Ramadhan yang berupa kewajiban bagi orang-orang beriman juga memiliki efek positif untuk kesehatan manusia. Demikian pula awāmir(perintah-perintah) lain selalu menyimpan kemaslahatan lahir batin manusia. Pada sisi lain nawāhy (larangan-larangan) secara akurat merusak fisik, moral dan tatanan sosial. Pencurian, korupsi, zina, penganiayaan terhadap makhluk hidup dan perilaku melanggar norma yang lain tentu merusak tatanan individual maupun kolektif.
[1] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 49.
[2] Ibid., h. 60.
[3] Ibid., h. 111.
[4] Ibid., h. 112.
[5] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006m h. 66.
[6] Yunasril Ali, op.cit., h. 56.
[7] Ibid., h. 119.
[8] Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya…, h. 435.
[9] Yunasril Ali, op.cit., h. 123.
[10] Departemen Agama RI, op.cit., h. 670.
[11] Yunasril Ali, op.cit., h. 61.
[12] Yunasril Ali, loc.cit.
[13] Ibid., h. 62.
[14] Ibid., h. 63.
[15] Ibid., h. 66.
[16] Ibid., h. 70.
[17] Yunasril Ali, loc.cit.
[18] Mulyadi Kartanegara, op.cit., h. 180.
[19] Barwa Ahmad Tabanah, Muqadimah Ihya’ Ulumudin, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tt, h. 37.
[20] Mulyadi Kartanegara, op.cit., h. 185.
[21] Yunasril Ali, op.cit., h. 73.
[22] Ibid., h. 78.
[23] Ibid., h. 81.
[24] Departemen Agama RI, op.cit., h. 13.
[25] Q., s. al-Baqarah / 2: 34.
[26] Q., s. al-A’râf / 7: 12.
[27] Yunasril Ali, op.cit., h. 83.
[28] Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 2002, h. 74.
[29] Yunasril Ali, op.cit., h. 93.
[30] Ibid., h. 97.
[31] Ibid., h. 167.
[32] Muslih Ibn Abd ar-Rahman, an-Nur al-Burhany, Semarang: Toha Putra, tt, h. 46.
[33] Abu Bakar al-Makky, Kifayah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Asfiyā’, Semarang: Toha Putra, tt, h. 9.
[34] Departemen Agama RI, op.cit., h. 1084. .
No comments:
Post a Comment